PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA MELALUI DIPLOMASI
Juni 14, 2012Perjuangan Diplomasi
Perjuangan
bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan juga dilakukan di meja
perundingan atau perjuangan diplomasi. Perjuangan diplomasi dilakukan,
misalnya dengan mencari dukungan dunia internasional dan berunding
langsung dengan Belanda.
A. Mencari dukungan internasional
Perjuangan mencari dukungan internasional
lewat PBB dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Tindakan langsung dilakukan dengan mengemukakan masalah Indonesia di
hadapan sidang Dewan Keamanan PBB. Tindakan tidak langsung dilakukan
melalui pendekatan dan hubungan baik dengan negara-negara yang akan
mendukung Indonesia dalam sidang-sidang PBB. Negara-negara yang
mendukung Indonesia antara lain sebagai berikut.
Australia
Australia bersedia menjadi anggota Komisi
Tiga Negara. Australia juga mendesak Belanda agar menghentikan operasi
militernya di Indonesia. Australia berperan dalam membentuk opini dunia
internasional untuk mendukung Indonesia dalam sidang Dewan Keamanan PBB.
India
India merupakan salah satu negara yang
mengakui kedaulatan Indonesia dalam forum internasional. India juga
mempelopori Konferensi Inter-Asia untuk mengumpulkan dukungan bagi
Indonesia. Konferensi Inter-Asia dilaksanakan pada tahun 1949.
Negara-negara Liga Arab
Negara Mesir, Lebanon, Suriah, dan Saudi
Arabia mengakui kedaulatan Indonesia. Pengakuan ini mempengaruhi
pandangan internasional terhadap Indonesia.
Negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB
Para tokoh politik Indonesia mengadakan
pendekatan dengan negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB. Pendekatan
yang dilakukan Sutan Syahrir dan Haji Agus Salim dalam sidang Dewan
Keamanan PBB pada bulan Agustus 1947 berhasil mempengaruhi negaranegara
anggota Dewan Keamanan PBB untuk mendukung Indonesia.
B. Berunding dengan Belanda
Indonesia juga mengadakan perundingan
langsung dengan Belanda. Berbagai perundingan yang pernah dilakukan
untuk menyelesaikan konflik Indonesia- Belanda misalnya: Perundingan
Linggarjati, Perjanjian Renville, Persetujuan Roem-Royen, Konferensi
Inter-Indonesia, dan Konferensi Meja Bundar.
a. Permulaan perundingan-perundingan dengan Belanda (10 Februari 1946)
Panglima AFNEI (Letnan Jenderal
Christison) memprakarsai pertemuan Pemerintah RI dengan Belanda untuk
menyelesaikan pertikaian Belanda dan RI. Serangkaian perundingan
pendahuluan di lakukan. Archibald Clark Kerr dan Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai penengah. Perundingan dimulai pada tanggal 10 Februari 1946. Pada awal perundingan, H.J. van Mook menyampaikan
pernyataan politik pemerintah Belanda. Kemudian pada tanggal 12 Maret
1946, pemerintah Republik Indonesia menyampaikan pernyataan balasan.
b. Perundingan di Hooge Veluwe (14–25 April 1946)
Setelah beberapa kali diadakan pertemuan
pendahuluan, diselenggarakanlah perundingan resmi antara pemerintah
Belanda dengan Pemerintah RI untuk menyelesaikan konflik. Perundingan
dilakukan di Hooge Veluwe negeri Belanda pada tanggal 14 – 25 April 1946. Perundingan mengalami kegagalan.
c. Perundingan gencatan senjata (20–30 September 1946)
Banyaknya insiden pertempuran antara
pejuang Indonesia dengan pasukan Sekutu dan Belanda mendorong
diadakannya perundingan gencatan senjata. Perundingan diikuti wakil dari
Indonesia,Sekutu, dan Belanda. Perundingan dilaksanakan dari tanggal 20
– 30 September 1946. Perundingan tidak mencapai hasil yang diinginkan.
d. Perundingan RI dan Belanda (7 Oktober 1946)
Lord Killearn berhasil membawa
wakil-wakil Pemerintah Indonesia dan Belanda ke meja perundingan.
Perundingan berlangsung di rumah Konsul Jenderal Inggris di Jakarta pada
tanggal 7 Oktober 1946. Delegasi Indonesia diketuai Perdana Menteri
Sutan Syahrir. Delegasi Belanda diketuai oleh Prof. Schermerhorn. Dalam
perundingan tersebut, masalah gencatan senjata yang gagal perundingan
tanggal 30 September 1946 disetujui untuk dibicarakan lagi dalam tingkat
panitia yang diketuai Lord Killearn.
Perundingan tingkat panitia menghasilkan persetujuan gencatan senjata sebagai berikut.
- Gencatan senjata diadakan atas dasar kedudukan militer pada waktu itu dan atas dasar kekuatan militer Sekutu serta Indonesia.
- Dibentuk sebuah Komisi Bersama Gencatan Senjata untuk masalah-masalah teknis pelaksanaan gencatan senjata.
Di bidang politik, delegasi Pemerintah Indonesia dan komisi umum Belanda sepakat untuk
menyelenggarakan perundingan politik “secepat mungkin”.
e. Perundingan Linggarjati (10 November 1946)
Sebagai kelanjutan
perundingan-perundingan sebelumnya, sejak tanggal 10 November 1946 di
Linggarjati di Cirebon, dilangsungkan perundingan antara Pemerintah RI
dan komisi umum Belanda. Perundingan di Linggarjati dihadiri oleh
beberapa tokoh juru runding, antara lain sebagai berikut:
- Inggris, sebagai pihak penengah diwakili olehLord Killearn.
- Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir (Ketua), Mohammad Roem (anggota), Mr. Susanto Tirtoprojo, S.H. (anggota), Dr. A.K Gani (anggota).
- Belanda, diwakili Prof. Schermerhorn (Ketua), De Boer (anggota), dan Van Pool (anggota).
Perundingan di Linggarjati tersebut
menghasilkan keputusan yang disebut perjanjian Linggarjati. Berikut ini
adalah isi Perjanjian Linggarjati.
- Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda sudah harusmeninggalkan daerah de facto paling lambat pada tanggal 1 Januari 1949.
- Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk negara Serikat dengan nama RIS. Negara Indonesia Serikat akan terdiri dari RI, Kalimantan dan Timur Besar. Pembentukan RIS akan diadakan sebelum tanggal 1 Januari 1949.
- RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia- Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketua. Perjanjian Linggarjati ditandatangani oleh Belanda dan Indonesia pada tanggal 25 Maret 1947 dalam suatu upacara kenegaraan di Istana Negara Jakarta.
Perjanjian Linggarjati bagi Indonesia ada segi positif dan negatifnya.
- Segi positifnya ialah adanya pengakuan de facto atas RI yang meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera.
- Segi negatifnya ialah bahwa wilayah RI dari Sabang sampai Merauke, yang seluas Hindia Belanda dulu tidak tercapai.
f. Melibatkan Komisi Tiga Negara
Pada tanggal 18 September 1947, Dewan
Keamanan PBB membentuk sebuah Komisi Jasa Baik. Komisi ini kemudian
terkenal dengan sebutan Komisi Tiga Negara. Anggota KTN terdiri dari Richard Kirby (wakil Australia), Paul van Zeeland (wakil Belgia), dan Frank Graham (wakil
Amerika Serikat). Dalam pertemuannya pada tanggal 20 Oktober 1947, KTN
memutuskan bahwa tugas KTN di Indonesia adalah untuk membantu
menyelesaikan sengketa antara RI dan Belanda dengan cara damai. Pada
tanggal 27 Oktober 1947, KTN tiba di Jakarta untuk memulai pekerjaannya.
g. Perjanjian Renville (8 Desember 1947 – 17 Januari 1948)
KTN berusaha mendekatkan RI dan Belanda
untuk berunding. Atas usul KTN, perundingan dilakukandi tempat yang
netral, yaitu di atas kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika
Serikat “USS Renville”. Oleh karena itu, perundingan tersebut dinamakan Perjanjian Renville.
Perjanjian Renville dimulai pada tanggal 8
Desember 1947. Hasil perundingan Renville disepakati dan ditandatangani
pada tanggal 17 Januari 1948. Yang hadir pada perundingan di atas kapal
Renville ialah sebagai berikut.
- Frank Graham (ketua), Paul van Zeeland (anggota), dan Richard Kirby (anggota) sebagai mediator dari PBB.
- Delegasi Indonesia Republik Indonesia diwakili oleh Amir Syarifuddin (ketua), Ali Sastroamidjojo (anggota), Haji Agus Salim (anggota), Dr. J. Leimena (anggota), Dr. Coa Tik Ien (anggota), dan Nasrun (anggota).
- Delegasi Belanda Belanda diwakili oleh R. Abdulkadir Wijoyoatmojo (ketua), Mr. H.A.L. van Vredenburgh (anggota), Dr. P. J. Koets (anggota), dan Mr. Dr. Chr. Soumokil (anggota).
Perjanjian Renville menghasilkan beberapa keputusan sebagai berikut.
- Penghentian tembak-menembak.
- Daerah-daerah di belakang garis van Mook harus dikosongkan dari pasukan RI.
- Belanda bebas membentuk negara-negara federal di daerah-daerah yang didudukinya dengan melalui plebisit terlebih dahulu.
- Membentuk Uni Indonesia-Belanda. Negara Indonesia Serikat yang ada di dalamnya sederajat dengan Kerajaan Belanda. Persetujuan Renville ditandatangani oleh Amir Syarifuddin (Indonesia) dan Abdulkadir Wijoyoatmojo (Belanda).
Perjanjian ini semakin mempersulit posisi
Indonesia karena wilayah RI semakin sempit. Kesulitan itu bertambah
setelah Belanda melakukan blockade ekonomi terhadap Indonesia.
Itulah sebabnya hasil Perjanjian Renville mengundang reaksi keras, baik dari kalangan partai
politik maupun TNI.
- Bagi kalangan partai politik, hasil perundingan itu memperlihatkan kekalahan perjuangan diplomasi.
- Bagi TNI, hasil perundingan itu mengakibatkan harus ditinggalkannya sejumlah wilayah pertahanan yang telah susah payah dibangun.
h. Resolusi DK PBB (28 Januari 1949)
Berkaitan dengan agresi militer Belanda
II, pada tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan sebuah
resolusi. Isi dari resolusi itu ialah sebagai berikut.
- Belanda harus menghentikan semua operasi militer dan pihak Republik Indonesia diminta untuk menghentikan aktivitas gerilya. Kedua pihak harus bekerja sama untuk mengadakan perdamaian kembali.
- Pembebasan dengan segera dan tidak bersyarat semua tahanan politik dalam daerah RI oleh Belanda sejak 19 Desember 1948.
- Belanda harus memberikan kesempatan kepada pemimpin RI untuk kembali ke Yogyakarta dengan segera. Kekuasaan RI di daerah-daerah RI menurut batas-batas Persetujuan Renville dikembalikan kepada RI.
- Perundingan-perundingan akan dilakukan dalam waktu yang secepat-cepatnya dengan dasar Persetujuan Linggarjati, Persetujuan Renville, dan berdasarkan pembentukan suatu Pemerintah Interim Federal paling lambat tanggal 15 Maret 1949. Pemilihan Dewan Pembuat Undang Undang Dasar Negara Indonesia Serikat selambat-lambatnya pada tanggal 1 Juli 1949.
- Komisi Jasa-jasa Baik (KTN) berganti nama menjadi Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nation for Indonesia atau UNCI). UNCI bertugas untuk: membantu melancarkan perundinganperundingan untuk mengurus pengembalian kekuasaan pemerintah RI, mengamati pemilihan, mengajukan usul mengenai berbagai hal yang dapat membantu tercapainya penyelesaian.
i. Perjanjian Roem-Royen (17 April – 7 Mei 1949)
Sejalan dengan perlawanan gerilya di Jawa
dan Sumatra yang semakin meluas, usaha-usaha di bidang diplomasi
berjalan terus. UNCI mengadakan perundingan dengan pemimpin-pemimpin RI
di Bangka. Sementara itu, Dewan Keamanan PBB pada tanggal 23 Maret 1949
memerintahkan UNCI untuk membantu pelaksanaan resolusi DK PBB pada
tanggal 28 Januari 1949. UNCI berhasil membawa Indonesia dan Belanda ke
meja perundingan. Pada tanggal 17 April 1949 dimulailah perundingan
pendahuluan di Jakarta. Delegasi Indonesia dipimpin Mr. Mohammad Roem. Delegasi Belanda dipimpin Dr. van Royen. Pertemuan dipimpin Merle Cohran dari
UNCI yang berasal dari Amerika Serikat. Akhirnya pada tanggal 7 Mei
1949 tercapai persetujuan. Persetujuan itu dikenal dengan nama “Roem-Royen Statement”.
Dalam perundingan ini, setiap delegasi mengeluarkan pernyataan
sendiri-sendiri. Pernyataan delegasi Indonesia antara lain sebagai
berikut.
- Soekarno dan Hatta dikembalikan ke Yogyakarta.
- Kesediaan mengadakan penghentian tembakmenembak.
- Kesediaan mengikuti Konferensi Meja Bundar setelah pengembalian Pemerintah RI ke Yogyakarta.
- Bersedia bekerja sama dalam memulihkan perdamaian dan tertib hukum.
Sedangkan pernyataan dari pihak Belanda adalah sebagai berikut.
- Menghentikan gerakan militer dan membebaskan tahanan politik.
- Menyetujui kembalinya Pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta.
- Menyetujui Republik Indonesia sebagai bagian dari negara Indonesia Serikat.
- Berusaha menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar.
Pada tanggal 6 Juli 1949, Soekarno dan
Hatta dikembalikan ke Yogyakarta. Pengembalian Yogyakarta ke tangan
Republik Indonesia diikuti dengan penarikan mundur tentara Belanda dari
Yogyakarta. Tentara Belanda berhasil menduduki Yogyakarta sejak tanggal
19 Desember 1948 – 6 Juli 1949.
j. Konferensi Inter-Indonesia (19 -22 Juli 1949 dan 31 Juli – 2 Agustus 1949)
Sebelum Konferensi Meja Bundar
berlangsung, dilakukan pendekatan dan koordinasi dengan negara- negara
bagian (BFO) terutama berkaitan dengan pembentukan Republik Indonesia
Serikat. Konferensi Inter-Indonesia ini penting untuk menciptakan
kesamaan pandangan menghadapi Belanda dalam KMB. Konferensi diadakan
setelah para pemimpin RI kembali ke Yogyakarta. Konferensi
Inter-Indonesia I diadakan di Yogyakarta pada tanggal 19 – 22 Juli 1949.
Konferensi Inter-Indonesia I dipimpin Mohammad Hatta. Konferensi
Inter-Indonesia II diadakan di Jakarta pada tanggal 30 Juli – 2 Agustus
1949. Konferensi Inter-Indonesia II dipimpin oleh Sultan Hamid (Ketua BFO). Pembicaraan dalam Konferensi Inter-Indonesia hampir semuanya difokuskan pada masalah pembentukan RIS, antara lain:
- masalah tata susunan dan hak Pemerintah RIS,
- kerja sama antara RIS dan Belanda dalam Perserikatan Uni.
Hasil positif Konferensi Inter-Indonesia adalah disepakatinya beberapa hal berikut ini.
- Negara Indonesia Serikat yang nantinya akan dibentuk di Indonesia bernama Republik Indonesia Serikat (RIS).
- Bendera kebangsaan adalah Merah Putih.
- Lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya.
- Hari 17 Agustus adalah Hari Nasional.
Dalam bidang militer, Konferensi Inter-Indonesia memutuskan hal-hal berikut.
- Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) adalah Angkatan Perang Nasional.
- TNI menjadi inti APRIS dan akan menerima orang-orang Indonesia yang ada dalam KNIL dan kesatuan-kesatuan tentara Belanda lain dengan syarat-syarat yang akan ditentukan lebih lanjut.
- Pertahanan negara adalah semata-mata hak Pemerintah RIS, negara-negara bagian tidak mempunyai angkatan perang sendiri.
Kesepakatan tersebut mempunyai arti
penting sebab perpecahan yang telah dilakukan oleh Belanda sebelumnya,
melalui bentuk-bentuk negara bagian telah dihapuskan. Kesepakatan ini
juga merupakan bekal yang sangat berharga dalam menghadapi Belanda dalam
perundingan-perundingan yang akan diadakan kemudian. Pada tanggal 1
Agustus 1949, pihak Republik Indonesia dan Belanda mencapai persetujuan
penghentian tembak-menembak yang akan mulai berlaku di Jawa pada tanggal
11 Agustus dan di Sumatera pada tanggal 15 Agustus. Tercapainya
kesepakatan tersebut memungkinkan terselenggaranya Konferensi Meja
Bundar di Den Haag, Belanda.
k. Konferensi Meja Bundar (23 Agustus 1949 – 2 November 1949)
Konferensi Meja Bundar (KMB) diadakan di
Ridderzaal, Den Haag, Belanda. Konferensi dibuka pada tanggal 23 Agustus
1949 dan dihadiri oleh:
- Delegasi Republik Indonesia dipimpin Mohammad Hatta,
- Delegasi BFO dipimpin Sultan Hamid,
- Delegasi Kerajaan Belanda dipimpin J. H. van Maarseveen, dan
- UNCI diketuai oleh Chritchley.
Konferensi Meja Bundar dipimpin oleh Perdana Menteri Belanda, W. Drees.
Konferensi berlangsung dari tanggal 23 Agustus sampai dengan 2 November
1949. Dalam konferensi dibentuk tiga komisi, yaitu: Komisi
Ketatanegaraan, Komisi Keuangan, dan Komisi Militer. Kesulitan-kesulitan
yang muncul dalam perundingan adalah:
- dari Komisi Ketatanegaraan menyangkut pembahasan mengenai Irian Jaya,
- dari Komisi Keuangan menyangkut pembicaraan mengenai masalah utang.
Belanda menuntut agar Indonesia mengakui
utang terhadap Belanda yang dilakukan sampai tahun 1949. Dalam bidang
militer, tanpa ada kesulitan siding menyepakati inti angkatan perang
dalam bentuk Indonesia Serikat adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Setelah penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, KNIL
(tentara Belanda di Indonesia) akan dilebur ke dalam TNI. KMB dapat
menghasilkan beberapa persetujuan. Berikut ini adalah beberapa hasil
dari KMB di Den Haag:
- Belanda menyerahkan kedaulatan atas Indonesia sepenuhnya dan tanpa syarat kepada RIS.
- Republik Indonesia Serikat (RIS) terdiri atas Republik Indonesia dan 15 negara federal. Corak pemerintahan RIS diatus menurut konstitusi yang dibuat oleh delegasi RI dan BFO selama Konferensi Meja Bundar berlangsung.
- Melaksanakan penyerahan kedaulatan selambat- lambatnya tanggal 30 Desember 1949.
- Masalah Irian Jaya akan diselesaikan dalam waktu setahun sesudah pengakuan kedaulatan.
- Kerajaan Belanda dan RIS akan membentuk Uni Indonesia-Belanda. Uni ini merupakan badan konstitusi bersama untuk menyelesaikan kepentingan umum.
- Menarik mundur pasukan Belanda dari Indonesia dan membubarkan KNIL. Anggota KNIL boleh masuk ke dalam APRIS.
- RIS harus membayar segala utang Belanda yang diperbuatnya semenjak tahun 1942.
C. Pengakuan Kedaulatan
Upacara penandatanganan naskah pengakuan
kedaulatan dilakukan pada waktu yang bersamaan di Indonesia dan di
negeri Belanda, yaitu pada tanggal 27 Desember 1949. Di negeri Belanda,
penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan dilaksanakan di ruang takhta
Istana Kerajaan Belanda. Ratu Juliana, P.M. Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Mr. A.M.J.A. Sassen, dan Mohammad Hatta membubuhkan tanda tangan pada naskah pengakuan kedaulatan. Sementara itu, di Jakarta, Sultan Hamengkubuwono IX dan A.H.J. Lovink (Wakil
Tinggi Mahkota) membubuhkan tanda tangan pada naskah pengakuan
kedaulatan. Pada tanggal yang sama, di Yogyakarta dilakukan penyerahan
kedaulatan dari Republik Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat.***
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking